Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Chanzoo Song pada kelas Multikulturalisme di Asia, sebuah kelas kolaborasi Prodi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation.
Pada dekade 1980-an, komunitas Muslim Xinjiang yang tinggal di Korea membawa tradisi panggang daging mereka yang menggunakan daging domba. Hal tersebut menginspirasi para pengusaha kuliner Korea untuk berinovasi, mulai dari menggunakan sepeda bekas untuk tusuk sate hingga alat pemanggang otomatis.
“Ide revolusioner tersebut menambah keunikan cikal bakal kuliner Korea yang hingga saat ini menjadi semakin populer,” terang Prof. Changzoo.
Migrasi Muslim Xinjiang ke Korea tersebut tentu menimbulkan dampak, yaitu munculnya masyarakat yang multikultural.
“Pada awalnya, memasak barbeque menggunakan daging domba bukanlah hal yang lazim di Korea. Namun, sejak kehadiran masyarakat Muslim Xinjiang, hal ini menjadi lazim dan populer,” ungkap Prof. Changzoo.
Hingga saat ini, tren barbeque Korea tersebut telah menyebar di berbagai penjuru dunia, memengaruhi restoran, kebiasaan makan, hingga merambah ke industri pangan internasional. Produsen daging layaknya Selandia Baru pun turut merasakan dampak positif tren kuliner ini.
Perjalanan tersebut bukan hanya seputar kuliner, melainkan juga proses tercampurnya budaya asing dan lokal, sehingga dapat menciptakan identitas budaya baru. Hal ini menjadi bukti bahwa kondisi masyarakat yang multikultural juga dapat membawa dampak pada sektor kuliner.
“Melalui kisah inovatif tusuk sate dari komponen sepeda bekas, kita dapat melihat masa depan kuliner yang kian bertransformasi dan mempesona,” tutup Prof. Chen